Senin, 21 Mei 2012

Tradisi dan Kesenian di kota Tegal



a.      Mantu poci
Mantu Poci adalah salah satu kebudayaan di wilayah Tegal, dengan acara inti melangsungkan 'pesta perkawinan' antara sepasang poci tanah berukuran raksasa.
Mantu poci pada umumnya diselenggarakan oleh pasangan suami istri yang telah lama berumah tangga namun belum juga dikarunai keturunan. Seperti layaknya pesta perkawinan, mantu poci juga dihadiri oleh ratusan bahkan ribuan undangan. Lengkap dengan dekorasi, sajian makanan, dan beraneka pementasan untuk menghibur para undangan yang hadir. Tak lupa pula, di pintu masuk ruang resepsi disediakan kotak sumbangan berbentuk rumah.
Selain sebagai harapan agar pasangan suami istri segera mendapatkan keturunan, mantu poci juga bertujuan agar penyelenggara merasa seperti menjadi layaknya orang tua yang telah berhasil membesarkan putra putri mereka, kemudian dilepas dengan pesta besar dengan mengundang sanak saudara, dan relasi.
Dewasa ini Mantu Poci sudah jarang digelar di Tegal. Salah satu repertoar yang diusung oleh Dewan Kesenian Kota Tegal di Anjungan Jawa Tengah, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) tahun 2003 adalah mementaskan drama berjudul Kang Daroji Mantu Poci, dikemas secara komedi.
b.      Tari Tegalan
Tegal memiliki kesenian rakyat seperti Wayang Gaya Tegal, Gending Tegal asli misaInya llo‑llo Itek, Lurung Bingung, Ronggeng Tegal, Tari Topeng Gaya Tegal contohnya Tari Topeng Endel. Tari Topeng Kresna, Tari Topeng Patih/Ponggawa, Tari Topeng Lanyapan Alus, Tari Topeng Panji, dan Tari Topeng Klana. Salah satu kesenian khas tegal yang keberadaannya masih berkembang dan dapat dilihat saat ini adalah Tari topeng Endel di Desa Slarang Lor, Kecamatan Dukuhwaru, Kabupaten Tegal.
Berbagai jenis Tari Topeng yang lahir di Desa Slarang lor merupakan peninggalan neriek moyang dan diwariskan secara turun temurun.Pertunjukan tari Topeng Endel diawali oleh penari atau ronggeng (istilah masyarakat Tegal) bemama ibu Darem yang diwariskan kepada anak‑anaknya dan sebagai penarinya bernama ibu Warni, kemudian diturunkan kepada Ibu Sawitri dan berikutnya kepada Ibu Purwanti. Dari keturunannya yang masih ada tinggal Ibu Sawitri dan Ibu Purwanti yang berprofesi sebagai penari. Pada periode Ibu Warni dan Ibu Sawitri mengalami kejayaan sekitar tahun 1950 ‑ 1960 kemudian surut kembali.
Tari Topeng Endel adalah jenis tari tunggal dimana penarinya menggunakan topeng yang berbentuk lukisan wajah cantik. Tari ini ditarikan oleh penari wanita dengan gayanya yang lincah, genit dan gendhil/ ganjen. Salah salah satu kekhasan Tari topeng Endel adalah iringan yang menggunakan musik Jawa dengan gendhing Tegalan, ragam gerak yang khas seperti giyul dan jeglong yang hanya ada di Topeng Tegal. Giyul adalah menggoyangkan pinggul dengan posisi kaki jejer jenjeng tangan kiri menthang lurus sedangkan tangan kanan lurus ke bawah. Jeglong adalah kaki tanjak kanan, tangan kiri sampur, tangan kanan nekuk, Ialu proses jeglong.
Ditinjau dari bahasanya, topeng adalah penutup wajah yang terbuat dari kayu atau kertas yang berbentuk wajah manusia atau binatang. Sementara Endel dalam bahasa Jawa adalah Batur Wadon ( pembantu wanita/ pengiring ), ( Atmojo, 1990 : 94 ) sedangkan dalam BahasaTegal Endel diartikan sebagai ganjen, lincah atau genit. Tari Topeng Endel menggambarkan seorang pembantu yang tugasnya menghibur ratu dengan karakter lincah , genit dan ganjen. Dalam pementasanya, tari ini dapat dimainkan secara tunggal, tetapi tidak menutup kemungkinan diartikan secara berpasangan atau masal.
Dalam pertunjukan Tari Topeng Endel tidak mengandung makna tertentu namun unsur keindahan dalam gerak sangat diutamakan sehingga mampu membawakan keindahan, kedinamisan dan kelincahan dalam penyajian gerak contohnya gerak lontang, jeglong, egolan, yang memberi arti endel yang lincah dan gendil.
c.       Batik Tegalan
Pembatikan dikenal di Tegal akhir abad ke-19. Pewarna yang dipakai waktu itu buatan sendiri yang diambil dari tumbuh-tumbuhan: pace/mengkudu, nila, soga kayu dan kainnya tenunan sendiri. Warna batik Tegal pertama kali ialah sogan dan babaran abu-abu setelah dikenal nila pabrik, dan kemudian meningkat menjadi warna merah-biru. Pasaran batik Tegal waktu itu sudah keluar daerah antara lain Jawa Barat dibawa sendiri oleh pengusaha-pengusaha secara jalan kaki dan mereka inilah menurut sejarah yang mengembangkan batik di Tasik dan Ciamis di samping pendatang-pendatang lainnya dari kota-kota batik Jawa Tengah.
Pada awal abad ke-20 sudah dikenal mori import dan obat-obat import baru dikenal sesudah perang dunia kesatu. Pengusaha-pengusaha batik di Tegal kebanyakan lemah dalam permodalan dan bahan baku didapat dari Pekalongan dan dengan kredit dan batiknya dijual pada Cina yang memberikan kredit bahan baku tersebut. Waktu krisis ekonomi pembatik-pembatik Tegal ikut lesu dan baru giat kembali sekitar tahun 1934 sampai permulaan perang dunia kedua. Waktu Jepang masuk kegiatan pembatikan mati lagi.

Tempat bersejarah di Kota Tegal



Tempat bersejarah di tegal itu cukup bnyak hanya saja ada yang sudah tidak di rawat dan digunakan. Tapi ada juga yang masih dipergunakan hingga sekarang ini.
Tempat bersejarah di Tegal salah satunya yaitu bangunan bersejarah Gedung Universitas Pancasakti di Jalan Pancasila. Gedung ini merupakan peninggalan penjajah Belanda, dan Bangunan ini berdiri tahun1913, dengan ketinggian 12 meter, ada 2 lantai dan luasnya 5 hektar. Di bawah bangunan ini memiliki saluran air. Yang mengalir hingga laut. Gunanya untuk buangan air dan pendingin agar bangunan di atas dingin, seperti menggunakan AC bangunan ini dulu untuk kantor kereta belanda juga, antara lain SCS karo NIS (Netherland Indishce Spoorweg). Sekarang ini bangunan ini menjadi kantor UPS, tetapi sudah 2 tahun ini bangunan tersebut sudah tidak di gunkan lagi, kabar berita bangunan ini akan di buat museum bersejarah di Tegal., selain gedung UPS, masih banyak banguna bersejarah di Kota Tegal di antaranya:
a.      Menara Air, 
b.      Gedung Dansional,
c.       Klenteng di Veteran,
d.      Stasiun Kereta Api,
e.       Gedung DPRD,
f.       Masjid Agung,
g.      Kantor Pos,
Dan sebagian rumah-rumah disekitar jalan veteran, kauman, A. Yani, dan sudirman. Hanya saja rumah-rumah itu sekarang banyak yang sudah tidak terlihat lagi kekunoannya, akibat banyak rumah yang di rombak bahkan di buat bangunan ruko.
B.     Makanan khas Tegal
Makanan khas Tegal  beraneka ragam diantarnya Tahu aci dan Pilus. Makanan khas lain yaitu Soto Tegal (memakai tauge dan tauco dengan campuran daging ayam, sapi atau jeroan babat), Kupat Glabhed (ketupat dari beras yang diberi kuah kental dan dimakan bersama sate kerang/sate dari daging blengong(sejenis unggas/bebek)). Minuman yang terkenal yaitu Teh Poci khas Tegal (teh yang diseduh air panas di dalam wadah poci terbuat dari tanah liat dan untuk pemanisnya diberi gula batu.Untuk makan sehari-hari biasanya disebut Nasi Ponggol ( berisi lauk yang terdiri dari Tahu, Tempe, Ikan Asin, Oreg Oreg Tempe Berupa Tempe yang diiris kecil kecil dibumbui dengan Tumis ) Akhir akhir ini banyak disebut orang di Kota Tegal Ponggol Setan ( karena dijualnya malam setelah Jam 6 malam sampai pagi hari ) Konotasi "Setan " karena rasanya yang pedas bagai kesetanan. Ada juga jajanan bernama pia, pia terkenal itu buatan Nyonya Liao. Pia dengan beraneka ragam isi, mulai dari kacang ijo, coklat, nanas, susu, durian dll.
Beberapa makanan kecil yang saat ini sudah agak langka adalah Glothak (semacam bubur terbuat dari gembus/dage dengan kuah kaldu dan cabai hijau). Makanan semacam ini biasanya banyak dijual saat bulan Ramadhan. Ada juga kupat bongkok, rujak kangkung, bubur blohok dan rujak uleg. Sate Kambing Tegal juga cukup banyak disukai oleh masyarakat hingga diluar Tegal. Sate Kambing Tegal terbuat dari daging kambing muda biasanya berumur di bawah lima bulan (balibul)yang sangat empuk dan beraroma khas karena tidak terlalu banyak olesan bumbu pada saat membakarnya. Disajikan dengan kecap manis, irisan bawang merah, tonmat dan cabe rawit. Sangat lazim dihidangkan bersama teh poci gula batu.
Selain macam-macam makanan khas di atas tersebut,sekarang ini telah di jumpai  makanan khas yang baru baru ini buming yakni Olos,sejenis makanan atau jajanan dari tepugn kanji yang dibentuk bulat bakso berisi sayuran kol dan cabe rawit,rasanya pedas, tapi kini banyak orang yang membuat olos dengan kreasinya sendiri,yaitu isi olos tersebut diganti dengan berbagai macam pilihan,seperti ayam, sosis, bakso, tahu dan lain sebagainya dengan rasa tetap pedas.

ASAL USUL KOTA KUDUS




Kota Kudus yang sekarang merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Kudus di Provinsi Jawa Tengah, pada zaman dahulu hanyalah sebuah desa kecil di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Kedudukannya tidak dianggap penting, kecuali sebagai salah sate tempat persinggahan lalu lintas ekonomi dari pelabuhan Jepara ke pedalaman Majapahit dan sebaliknya.
Pada suatu saat, bermukimlah ke desa kecil itu seorang pedagang Cina bernama Sun Ging. Selain berdagang, Sun Ging yang ahli ukir itu mengembangkan keterampilannya mengukir sehingga banyaklah orang belajar mengukir di rumahnya. Lama-lama keahlian Sun Ging tersiar sampai ke istana Majapahit sehingga dipanggillah Sun Ging untuk mengukir hiasan-hiasan keraton. Setelah pekerjaan besar itu terselesaikan dengan balk dan memuaskan, ditanyalah Sun Ging oleh sang Raja. “Hadiah apakah yang engkau inginkan dari Majapahit?”
 “Sekiranya diizinkan, berilah hamba sebidang tanah di tempat hamba bermukim selama ini, biarlah hamba kelak mencangkulinya.”
“Mengapa tidak memohon hadiah emas permata atau putri Majapahit yang cantik jelita?” tanya sang Raja kemudian. “Pada pendapat hamba, sebidang tanah itu sudah sangat berharga bagi hamba sendiri. Tanah itu kelak dapat dicangkuli sampai menghasilkan emas permata. Dengan demikian, hamba tak perlu kembali ke negeri asal yang jauh.”
“Jika tak hendak kembali ke tanah asalmu, apakah engkau sanggup berbakti kepada Majapahit?” kata sang Raja seolah ingin menguji kesetiaan Sun Ging. “Sekiranya diizinkan, hamba ingin mengabdi sepenuh hati,” jawab ahli ukir itu dengan harapan akan segera menerima hadiahnya. -
Setelah menerima piagam hadiah itu, dengan gembira dan bangga Sun Ging memohon izin kembali ke desanya dengan niat mendirikan sebuah perguruan ukir. Ternyata niat itu pun terkabul, terbukti dengan semakin banyaknya orang yang belajar mengukir di perguruan itu. Kemudian, desa itu terkenal dengan nama Sunggingan, karena berasal dari nama pemiliknya Sun Ging, sedangkan akhiran -an berarti tempat tinggal. Jadi, Sunggingan berarti tempat tinggal keluarga Sun Ging.
Akan tetapi, cerita lain menyebutkan bahwa nama Sunggingan itu berarti tempat orang-orang menyungging yang berarti melukis atau mengukir. Dalam bahasa Jawa, juru sungging berarti ahli lukis atau tukang ukir. Dalam cerita ini disebutkan bahwa pemilik Sunggingan ialah The Ling Sing, yaitu seorang pedagang Cina yang dalam cerita terdahulu bernama Sun Ging.
Keramaian ekonomi desa Sunggingan ternyata terns berkembang walaupun pusat pemerintahan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur sudah tak terdengar kabarnya. Hal itu memikat perhatian Raden Patah yang sudah berhasil mendirikan Kerajaan Islam Demak Bintoro di Demak yang tak jauh dari desa itu. “Desa Sunggingan itu kelak dapat menjadi sebuah kota besar yang penting di dekat Jepara yang sudah berkembang sebagai pelabuhan. Oleh karena itu, perlu segera diislamkan agar dapat mendukung perkembangan Demak Bintoro,” pikir Raden Patah.
Tak lama kemudian, diperintahkanlah kepada Syekh Jafar Sodiq, seorang ulama besar dari Persia, untuk mengislamkan Sunggingan. Mendengar perintah itu berkemaslah Syekh Jafar Sodiq hijrah dari Demak Bintoro ke desa Sunggingan dengan beberapa orang santri terdekatnya. Sesampai di sana terlihatlah sebuah bangunan pintu gerbang Kerajaan Majapahit yang sudah tidak dipelihara orang. Hal itu justru memberikan ilham bagi Syekh Jafar Sodiq untuk memugarnya kembali agar memikat simpati masyarakat setempat yang masih memeluk agama Hindu sebagai warisan kebesaran Majapahit.
Pada mulanya di gerbang atau gapura itulah Syekh Jafar Sodiq mengundang masyarakat untuk men­dengarkan ajaran-ajaran baru yang disebut Islam. Caranya ialah dengan menambatkan seekor sapi jantan yang gemuk di dekat gerbang itu. Masyarakat pun tertarik menyaksikan sapi yang merupakan hewan terhormat dalam agama Hindu. Setiap kali orang berkerumun di tempat itu, berkhotbahlah Syekh Jafar Sodiq untuk mengajak masyarakat memeluk Islam. Berkat kesabaran, keramahan, dan kewibawaan pribadinya maka dalam waktu singkat sebagian besar penduduk Sunggingan telah memeluk agama Islam, termasuk The Ling Sing sendiri yang kemudian bergelar Kiai Telingsing. Bahkan, Syekh Jafar Sodiq pun akhirnya bermukim di sana dan kelak terkenal dengan sebutan Sunan Kudus.
Sebagai tokoh syiar Islam yang berasal dari negeri asing, wajarlah Syekh Jafar Sodiq membawa-bawa keagungan atau kebesaran negerinya sendiri. Hal itu diperlihatkannya dalam membangun sebuah mesjid di dekat gerbang atau gapura desa itu. Pada bagian kiblat mesjid itu dihiasi lempengan-lempengan batu hitam yang berasal dari negeri Persia yang dipersamakan dengan batu Hajar Aswad di Kakbah. Hiasan itu disebutnya Al Kuds yang berarti suci atau keramat. Tak lama kemudian, mesjid itu pun dikenal masyarakat sekitarnya dengan sebutan mesjid Kudus, yaitu sebuah mesjid yang dihiasi lempengan-lempengan batu AlKuds atau batu-batu yang suci.
Apa yang diramalkan Raden Patah ternyata menjadi kenyataan. Setelah Syekh Jafar Sodiq bermukim di desa Sunggingan dan berhasil membangun sebuah pesantren, berkembanglah desa atau wilayah itu. Semakin banyaklah orang dari berbagai daerah lain yang berniat belajar mengaji dan mencari kehidupan barn dengan bertani, berdagang, mengukir, dan sebagainya. Desa Sunggingan yang dirintis oleh The Ling Sing berkembang menjadi pesantren dan kota yang oleh penduduk setempat disebut Kudus, dan Syekh Jafar Sodiq pun kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Kudus.
Gerbang atau gapura Majapahit yang telah dipugar oleh Syekh Jafar Sodiq ternyata menjadi salah satu ciri khas kota Kudus. Bangunan itu terkenal dengan sebutan Menara Kudus, aslinya berada di dekat mesjid Sung­gingan, sedangkan tiruannya didirikan di depan sebuah pusat perbelanjaan kota Kudus. Tempat lain yang bersangkutan dengan asal usul kota itu ialah makam Kiai Telingsing yang nama aslinya The Ling Sing. Makam itu terdapat di desa Sunggingan, sekarang hanya sebuah desa di dalam wilayah kota Kudus yang semakin semarak perkembangannya.

TRADISI BULUSAN SUMBER KUDUS




Legenda bulus sumber di Dukuh Sumber, Desa Hadipolo, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus belum diketahui secara pasti, namun berdasarkan penuturan juru kunci yang keempat yaitu ibu Sudasih dan bapak Sirojudin bahwa diperoleh legenda bulus sumber yang telah dikisahkan secara turun temurun dari mulut ke mulut sejak nenek moyangnya. Adapun cerita legenda tersebut dapat dikisahkan berikut ini.
Konon dukuh Sumber didirikan oleh seorang Kyai yang bernama Mbah Dudo. Beliau dikenal sebagai ahli nujum Syeikh Subakir dari Arab. Ahli nujum adalah orang yang ahli dalam ilmu perbintangan untuk meramalkan (mengetahui) nasib seseorang dan mengetahui segala alam. Selain ahli nujum, beliau adalah seorang bangsawan dari kerajaan Mataram Islam. Mbah Dudo konon diperintahkan oleh gurunya Syeikh Subakir untuk menyebarkan agama Islam di wilayah pantai utara Jawa. Selain itu, beliau gemar mengembara sambil menyebarkan agama Islam di berbagai wilayah.
Perjalanan mbah Kyai Dudo dari kerajaan Mataram sampai di wilayah Kudus memakan waktu yang cukup lama. Melalui medan yang cukup berat, seperti hutan belantara, semak-semak belukar, sungai-sungai, rawa-rawa. Gunung-gunung dan perbukitan terjal. Mbah Kyai Dudo walaupun menjalani perjalanan yang cukup jauh dengan medan yang cukup berat namun dijalaninya dengan penuh semangat dan ikhlas. Hal ini dilandasi atas dasar rasa patuh dan hormat kepada gurunya untuk menjalankan perintah menyebarkan agama Islam serta menjalankan tugas dari Raja dari kerajaan Mataram untuk membina hubungan dengan daerah pesisiran yang menjadi wilayah kerajaan Mataram.
Perjalanan panjang yang sangat melelahkan ini membuat kyai dudo berikut santrinya yang bernama Umaro dan Umari bersinggah (beristirahat sejenak) diberbagai tampat sebelum menemukan daerah yang sesuai dengan pesan gurunya. Mbah Kyai Dudo setelah melakukan perjalanan yang panjang kemudian menemukan daerah yang dituju dengan diberi tanda sebuah pohon maja. Pohon maja tersebut menunjukkan bahwa wilayah tersebut dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Setelah menemukan pohon itu, mbah kyai dudo kemudian beristirahat dan mulai membabat hutan yang masih ditumbuhi semak belukar, hutan belantara, dan daerahnya berawa-rawa. Hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa nama dukuh seperti ngrau dan pulo. Wilayah ini dulunya sangat angker. Tidak seorangpun yang berani menjamah bahkan membabat hutan di sini karena masih banyak satru galak (hewan liar) dan juga bangsa halus sehingga dahulu sering dikatakan jalmo moro jalmo mati (siapa yang datang akan mati). Tetapi Mbah Kyai Dudo memberanikan diri untuk membabat hutan dan mendirikan pesanggrahan (peristirahatan) di sini sambil menyebarkan agama Islam. Sebagai tanda dibukanya pedukuhan baru oleh Mbah Kyai Dudo dengan cara menanamkan biji duku yang dibawa dari kerajaan Mataram. Kelak didukuh sumber inilah terkenal dengan buah dukunya yang konon rasanya paling enak di seluruh Indonesia. Sampai sekarang hal tersebut masih kurang terbukti kebenarannya. Hal ini dapat dilihat dari jarangnya pohon duku yang tumbuh di sekitar kawasan Dukuh Sumber.
Berita didirikannya pesanggrahan dan dukuh baru di desa Hadipolo oleh Mbah Kyai Dudo seorang bangsawan dari Mataram dan seorang ahli nujum dan seorang muslim terdengar sampai ke telinga kanjeng Sunan Muria (Raden Umar Said). Sehingga pada suatu malam bertepatan dengan malam 17 Ramadhan (Nuzulul Quran) kanjeng Sunan Muria hendak menghadiri sebuah pertemuan walisongo di daerah Pati dengan dikuti beberapa santri terpilihnya sejenak mampir sebentar di pesanggrahan Mbah Kyai Dudo untuk beristirahat sejenak sambil bersilaturrahim.
Setelah sesampainya kanjeng Sunan di pesanggrahan Mbah Kyai Dudo, kemudian terjadi dialog antara mereka. Isi pembicaraan menyangkut berbagai permasalahan yakni tentang keagamaan, pemerintahan dan pertanian. Di tengah-tengan pembicaraan tersebut kanjeng Sunan Muria mendengar suara-suara gempricik di areal persawahan padahal waktu itu sudah malam. Kanjeng Sunan Muria kemudian memerintahkan kepada santrinya untuk mencari sumber suara-suara tersebut. Kemudian diketahui bahwa suara itu berasal dari langkah-langkah orang yang sedang mencabuti bibit padi untuk ditanam di sawah keesokan harinya. Setelah mendengar berita dari santrinya tersebut kanjeng sunan dengan suara lembutnya berbicara “tak kira suara bulus tadi”. Dari semua itu menurut penulis bukanlah tindakan Sunan Muria yang semena-mena terhadap rakyat. Tapi hal itu merupakan taqdir Ilahi yang ditunjukan berserta karamah yang dimilki Sunan Muria. Hal tersebut ditujukan agar rakyat semakin bertambah iman kepada sang Khaliq berkat adanya karomah yang dimilki Sunan Muria. Dan juga menunjukkan bahwasannya waktu malam Ramadhan adalah waktu untuk beribadah, bukan untuk bekerja. Karena Allah telah menciptakan Siang untuk manusia bekerja, dan malam untuk manusia mendekatkan diri kepada-Nya dan juga beristirahat. Walaupun dengan alasan menghindari terik matahari, semua itu bukanlah halangan untuk bekerja di siang hari bulan Ramadhan.
Kata-kata kanjeng Sunan Muria tersebut dimungkinkan diungkapkan dengan unsur ketidaksengajaan atau tidak bermaksud untuk mengutuk para petani itu menjadi bulus. Tapi konon kata-kata kanjeng Sunan Muria tersebut menjadi kenyataan. Orang yang mencabuti bibit padi itu seketika berubah menjadi bulus atau kura-kura. Tentu saja mereka terkejut dan bersedih hati menyadari nasibnya yang malang itu. Akan tetapi kepada siapakah harus mengadukan nasibnya? Mereka hanya dapat menduga bahwa kejadian itu akibat sebuah kutukan dari dewata atau seorang yang sakti yang kramat.
Setelah beberapa lama kanjeng Sunan berbincang-bincang dengan Mbah Kyai Dudo perihal penyiaran agama Islam, pertanian dan lain-lain, akhirnya mereka mohon pamit ingin melanjutkan perjalanan menuju ke Pati. Setelah kanjeng Sunan Muria melanjutkan perjalannanya kemudian Mbah Kyai Dudo memanggil santrinya Umaro dan Umari, tetapi tidak ada yang menjawabnya. Lalu beliau mencarinya kesana kemari di sekitar pesanggrahan, namun tidak ditemukan pula. Mbah Kyai Dudo kemudia teringat bahwa besok akan menanam padi, mungkin para santri sedang di sawah karena pada malam hari tidak panas, sedangkan kalau siang panas. Maklum para santri baru sedang menjalani puasa Ramadhan sehingga menghindari teriknya matahari. Mbah Kyai Dudo kemudian menuju ke sawah dan beliau memanggil-manggil santri-sntri terutama Umaro dan Umari. Lalu setiap memanggil beliau hanya mendengar jawaban tetapi tidak melihat kehadiran mereka. Kemudia beliau lebih menfokuskan pendengarannya pada suara jawaban santrinya itu. Alangkah terkejutnya beliau ketika melihat bahwa yang mengeluarkan suara tersebut adalah seekor bulus.
Mbah Dudo bersedih hati setelah mengetahui hal tersebut. Salah seekor bulus dengan nada yang sedih berkata ” barangkali kita berdosa karena bekerja di malam hari, apalagi di malam bulan suci Ramadhan”. “tapi siapakah yang melarang orang bekerja malam-malam?” sanggah bulus yang lainnya. “siapa tahu Dewi Sri tidak rela padinya di cabuti malam-malam?” ujar bulus lain. Maklum pada waktu itu pendalaman mereka soal agama Islam masih bercampur dengan kebudayaan nenek moyang sehingga mereka masih percaya dengan keberadaan Dewi Sri. dan Mbah Dudo dalam dakwahnyapun tidak menghilangkan secara keseluruhan kebudayaan-kebudayaan mereka, yakni dengan cara memadukan antara kebudayaan tersebut dengan kebudayaan Islam (akulturasi budaya).
Peristiwa ini membuat Mbah Kyai Dudo kebingungan karena dua santrinya Umaro, Umari serta masyarakat yang membantu mencabuti benih padi telah menjadi seekor bulus. Mbah Kyai Dudo kemudian meletakkan bulus-bulus itu dibawah pohon maja. Kejadian ini menjadi buah bibir penduduk setempat sehingga menimbulkan keresahan bagi warga masyarakat yang kehilangan sebagian anggota keluarganya. Lantas, diantara mereka ada yang mencari keterangan ke sana-sini sehingga tahulah bahwa kejadian itu akibat kata-kata Sunan Muria. Hal ini mengingatkan hati Mbah Kyai Dudo tentang kejadian malam itu disaat beliau berbincang-bincang dengan kanjeng Sunan Muria di pesanggrahan beliau. Kata-kata Sunan Muria yang tidak sengaja terucap tersebut mungkin saja menjadi sebuah karomah sebagai seorang wali. Sehingga apa yang beliau ucapkan itu dikabulkan oleh Allah. Sedangkan para petani tersebut juga salah, karena bekerja sampai lupa waktu walaupun dengan alasan puasa. Padahal malam pada bulan Ramadhan adalah malam untuk mendekatkan diri kepada Allah bukan untuk bekerja.
Kabar itupun terdengar oleh kaum kura-kura atau bulus yang bersusah payah mencari persembunyian. Beberapa hari kemudian, mereka yang telah menjadi kura-kura itu mendengar kabar-kabar dari orang-orang yang lewat di dekat persembunyiaannya bahwa kanjeng Sunan Muria akan segera kembali dari Pati. Kemudian dalam hati mereka timbullah niat untuk hendak memohon ampunan kepada Sunan Muria agar menjadi manusia normal seperti sedia kala.
Dengan sabar mereka menunggu lewatnya Sunan Muria sambil berendam diri di tempat persembunyiaannya. Setiap kali mendengar langkah-langkah kaki orang-orang yang lewat maka berebutlah mereka naik ke darat hendak mencari tahu siapakah yang lewat. Beberapa kali merekapun kecewa karena orang-orang yang lewat ternyata bukanlah rombongan Sunan Muria.
Suatu hari kemudian, pada saat Sunan Muria dan santri-santrinya melewati tempat itu, bergegaslah mereka naik ke darat hendak menghadap Sunan Muria. Setelah yakin bahwa orang-orang yang lewat itu adalah rombongan Sunan Muria, berkatalah diantara mereka, kanjeng sunan ampunilah dosa dan kesalahan kami, dan mohonkan kepada Allah agar kami menjadi manusia kembali. Permohonan maaf juga disampaikan oleh Mbah Kyai Dudo terhadap kanjeng Sunan Muria agar memaafkan santri-santrinya dan mengembalikan wujudnya seperti semula.
Sesungguhnya hati kanjeng Sunan Muria sangat terharu menyaksikan peristiwa itu, akan tetapi, beliaupun tersenyum sambil berkata dengan lembutnya, “wahai sanak kerabatku, aku sendiri ikut prihatin terhadap musibah ini. namun, harus kukatakan bahwa semua ini sudah menjadi takdir Allah. Oleh karena itu, terimalah semua cobaan ini dengan ikhlas dan bertaqwa kepada Allah”.
“kanjeng Sunan sekiranya memang demikian taqdir kami, lantas bagaimanakah kami memperoleh kehidupan?” sahut salah satu kura-kura.
Hati nurani kanjeng sunan muria semakin pilu mendengar permohonan itu. Setelah beliau bertafakur sejenak, dan berdoa bermunajat kepada Allah. Setelah itu beliau kemudia mengambil tongkat dan menghadapkan ujung tongkatnya ke atas lalu secepat kilat menancapkannya ke dalam tanah. Tongkat yang ditancapkannya kemudian dicabut dan sekejap saja tempat itu mengeluarkan sumber mata air yang besar dan jernih. Dalam waktu sekejap pula, tempat itu telah berubah menjadi sendang. Mbah Kyai Dudo, para santri dan masyarakat melihat kejadian ini sebagai suatu yang ajaib. Mereka heran bahkan matanya terpana dan terbelalak melihat kejadian ini. masyarakat sadar bahwa kejadian ini adalah karomah dari wali Allah yang segala permintaannya dikabulkan oleh Sang Pencipta.
Kanjeng Sunan Muria kemudian berkata pada bulus-bulus itu, “dengarlah wahai para bulus, tempat ini telah menjadi sumber air yang abadi, dan kelak akan menjadi sebuah dukuh yang ramai dengan nama sumber. Bersabarlah kalian di sini karena makanan apapun yang kalian inginkan akan datang dengan sendirinya”. Mbah Kyai Dudo kemudian menanamkan nama bulusan sehingga menjadi sebuah nama dukuh yang dikenal dengan nama sumber bulusan. Karena banyak dihuni oleh para bulus. Konon, tongkat kanjeng sunan muria berubah menjadi sebuah pohon yang bernama adem ayem, dan disekeliling sumber ditumbuhi pohon gayam. Pohon gayam melambangkan rasa ayem ‘tenteram, tenang’. Sama halnya dengan asem, kata gayam digunakan potongan kata atau suku kata terakhirnya yakni yam untuk menyimbolisasikan rasa ayem ‘tenteram, tenang’. Di samping itu, pohon gayam juga dipercaya sebagai pohon yang dapat menyimpan/mendekatkan air ke permukaan tanah sehingga air jernih mudah didapatkan di sekitar pohon tersebut. Ketersediaan air berarti juga ketenangan dan kesejahteraan bagi manusia. Untuk itulah pohon gayam digunakan sebagai simbol rasa keayeman. Di samping tentu saja, daunnya yang selalu lebat memberikan rasa teduh dan suasana tenang di sekitarnya. Pohon adem ayem tersebut termasuk memiliki keunikan, yakni pada musim penghujan, pohon ini malah daunnya berguguran. Lalu dari daun pohon tersebut juga dapat digunakan untuk menjadi obat penurun panas. Hal ini dapat dibuktikan dengan pengakuan para penduduk sekitar bahwa setiap anak atau anggota keluarga mereka sakit panas maka setelah minum air rebusan daun pohon adem ayem tersebut atas izin Allah panasnya turun.
Setelah berkata demikian, bergegaslah Sunan Muria dan rombongannya meninggalkan tempat itu. Lalu para bulus bertanya kepada Mbah Kyai Dudo perihal makanannya. Mbah Kyai Dudo kemudian menjawab, “bersabarlah kalian, karena anak cucumu warga dukuh sumber dan sekitarnya kelak disetiap mempunyai hajat akan mengirimu makanan yang berupa kupat, lepet, dan lain-lain. Selain itu, anak cucumu disetiap tanggal 8 Syawal akan berbondong-bondong datang menjenguk dan mengkholimu dengan membawa maknan sebagai symbol rasa syukur, permohonan maaf, dan merekatkan warga masyarakat agar ingat terhadap leluhurnya”. Hal tersebut memang terbukti dengan adanya orang-orang yang membawa makanan untuk dibawa ke Sumber dan diberikan kepada bulus, sehingga mereka dapat melihat bulus tersebut. Karena bulus-bulus tersebut jika tidak dikasih makanan mereka akan bersembunyi dibalik tanah. Hal ini masih sering dilakukan semasa Mbah Dudo masih hidup. Tetapi setelah Mbah Dudo wafat, hal tersebut sudah jarang dilakukan, sehingga para bulus itu pergi dari Sumber. Sampai sekarang ini tradisi memberi makan bulus hanya tinggal cerita dan hanya keramaian saja yang tersisa.
Pada saat sekarang ini, bulus-bulus itu sudah tidak diketahui lagi keberadaannya. Entah mati atau sudah pergi dari tempatnya semula tidak ada yang tahu secara pasti. Ada yang mengatakan bahwa bulus-bulus itu mempunyai sebuah lubang yang menghubungkan dari dukuh Sumber tersebut dengan sebuah pantai. Tapi lubang tersebut belum ada yang pernah menemukan atau menjumpai sehingga diragukan kebenarannya.