Senin, 21 Mei 2012

TRADISI BULUSAN SUMBER KUDUS




Legenda bulus sumber di Dukuh Sumber, Desa Hadipolo, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus belum diketahui secara pasti, namun berdasarkan penuturan juru kunci yang keempat yaitu ibu Sudasih dan bapak Sirojudin bahwa diperoleh legenda bulus sumber yang telah dikisahkan secara turun temurun dari mulut ke mulut sejak nenek moyangnya. Adapun cerita legenda tersebut dapat dikisahkan berikut ini.
Konon dukuh Sumber didirikan oleh seorang Kyai yang bernama Mbah Dudo. Beliau dikenal sebagai ahli nujum Syeikh Subakir dari Arab. Ahli nujum adalah orang yang ahli dalam ilmu perbintangan untuk meramalkan (mengetahui) nasib seseorang dan mengetahui segala alam. Selain ahli nujum, beliau adalah seorang bangsawan dari kerajaan Mataram Islam. Mbah Dudo konon diperintahkan oleh gurunya Syeikh Subakir untuk menyebarkan agama Islam di wilayah pantai utara Jawa. Selain itu, beliau gemar mengembara sambil menyebarkan agama Islam di berbagai wilayah.
Perjalanan mbah Kyai Dudo dari kerajaan Mataram sampai di wilayah Kudus memakan waktu yang cukup lama. Melalui medan yang cukup berat, seperti hutan belantara, semak-semak belukar, sungai-sungai, rawa-rawa. Gunung-gunung dan perbukitan terjal. Mbah Kyai Dudo walaupun menjalani perjalanan yang cukup jauh dengan medan yang cukup berat namun dijalaninya dengan penuh semangat dan ikhlas. Hal ini dilandasi atas dasar rasa patuh dan hormat kepada gurunya untuk menjalankan perintah menyebarkan agama Islam serta menjalankan tugas dari Raja dari kerajaan Mataram untuk membina hubungan dengan daerah pesisiran yang menjadi wilayah kerajaan Mataram.
Perjalanan panjang yang sangat melelahkan ini membuat kyai dudo berikut santrinya yang bernama Umaro dan Umari bersinggah (beristirahat sejenak) diberbagai tampat sebelum menemukan daerah yang sesuai dengan pesan gurunya. Mbah Kyai Dudo setelah melakukan perjalanan yang panjang kemudian menemukan daerah yang dituju dengan diberi tanda sebuah pohon maja. Pohon maja tersebut menunjukkan bahwa wilayah tersebut dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Setelah menemukan pohon itu, mbah kyai dudo kemudian beristirahat dan mulai membabat hutan yang masih ditumbuhi semak belukar, hutan belantara, dan daerahnya berawa-rawa. Hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa nama dukuh seperti ngrau dan pulo. Wilayah ini dulunya sangat angker. Tidak seorangpun yang berani menjamah bahkan membabat hutan di sini karena masih banyak satru galak (hewan liar) dan juga bangsa halus sehingga dahulu sering dikatakan jalmo moro jalmo mati (siapa yang datang akan mati). Tetapi Mbah Kyai Dudo memberanikan diri untuk membabat hutan dan mendirikan pesanggrahan (peristirahatan) di sini sambil menyebarkan agama Islam. Sebagai tanda dibukanya pedukuhan baru oleh Mbah Kyai Dudo dengan cara menanamkan biji duku yang dibawa dari kerajaan Mataram. Kelak didukuh sumber inilah terkenal dengan buah dukunya yang konon rasanya paling enak di seluruh Indonesia. Sampai sekarang hal tersebut masih kurang terbukti kebenarannya. Hal ini dapat dilihat dari jarangnya pohon duku yang tumbuh di sekitar kawasan Dukuh Sumber.
Berita didirikannya pesanggrahan dan dukuh baru di desa Hadipolo oleh Mbah Kyai Dudo seorang bangsawan dari Mataram dan seorang ahli nujum dan seorang muslim terdengar sampai ke telinga kanjeng Sunan Muria (Raden Umar Said). Sehingga pada suatu malam bertepatan dengan malam 17 Ramadhan (Nuzulul Quran) kanjeng Sunan Muria hendak menghadiri sebuah pertemuan walisongo di daerah Pati dengan dikuti beberapa santri terpilihnya sejenak mampir sebentar di pesanggrahan Mbah Kyai Dudo untuk beristirahat sejenak sambil bersilaturrahim.
Setelah sesampainya kanjeng Sunan di pesanggrahan Mbah Kyai Dudo, kemudian terjadi dialog antara mereka. Isi pembicaraan menyangkut berbagai permasalahan yakni tentang keagamaan, pemerintahan dan pertanian. Di tengah-tengan pembicaraan tersebut kanjeng Sunan Muria mendengar suara-suara gempricik di areal persawahan padahal waktu itu sudah malam. Kanjeng Sunan Muria kemudian memerintahkan kepada santrinya untuk mencari sumber suara-suara tersebut. Kemudian diketahui bahwa suara itu berasal dari langkah-langkah orang yang sedang mencabuti bibit padi untuk ditanam di sawah keesokan harinya. Setelah mendengar berita dari santrinya tersebut kanjeng sunan dengan suara lembutnya berbicara “tak kira suara bulus tadi”. Dari semua itu menurut penulis bukanlah tindakan Sunan Muria yang semena-mena terhadap rakyat. Tapi hal itu merupakan taqdir Ilahi yang ditunjukan berserta karamah yang dimilki Sunan Muria. Hal tersebut ditujukan agar rakyat semakin bertambah iman kepada sang Khaliq berkat adanya karomah yang dimilki Sunan Muria. Dan juga menunjukkan bahwasannya waktu malam Ramadhan adalah waktu untuk beribadah, bukan untuk bekerja. Karena Allah telah menciptakan Siang untuk manusia bekerja, dan malam untuk manusia mendekatkan diri kepada-Nya dan juga beristirahat. Walaupun dengan alasan menghindari terik matahari, semua itu bukanlah halangan untuk bekerja di siang hari bulan Ramadhan.
Kata-kata kanjeng Sunan Muria tersebut dimungkinkan diungkapkan dengan unsur ketidaksengajaan atau tidak bermaksud untuk mengutuk para petani itu menjadi bulus. Tapi konon kata-kata kanjeng Sunan Muria tersebut menjadi kenyataan. Orang yang mencabuti bibit padi itu seketika berubah menjadi bulus atau kura-kura. Tentu saja mereka terkejut dan bersedih hati menyadari nasibnya yang malang itu. Akan tetapi kepada siapakah harus mengadukan nasibnya? Mereka hanya dapat menduga bahwa kejadian itu akibat sebuah kutukan dari dewata atau seorang yang sakti yang kramat.
Setelah beberapa lama kanjeng Sunan berbincang-bincang dengan Mbah Kyai Dudo perihal penyiaran agama Islam, pertanian dan lain-lain, akhirnya mereka mohon pamit ingin melanjutkan perjalanan menuju ke Pati. Setelah kanjeng Sunan Muria melanjutkan perjalannanya kemudian Mbah Kyai Dudo memanggil santrinya Umaro dan Umari, tetapi tidak ada yang menjawabnya. Lalu beliau mencarinya kesana kemari di sekitar pesanggrahan, namun tidak ditemukan pula. Mbah Kyai Dudo kemudia teringat bahwa besok akan menanam padi, mungkin para santri sedang di sawah karena pada malam hari tidak panas, sedangkan kalau siang panas. Maklum para santri baru sedang menjalani puasa Ramadhan sehingga menghindari teriknya matahari. Mbah Kyai Dudo kemudian menuju ke sawah dan beliau memanggil-manggil santri-sntri terutama Umaro dan Umari. Lalu setiap memanggil beliau hanya mendengar jawaban tetapi tidak melihat kehadiran mereka. Kemudia beliau lebih menfokuskan pendengarannya pada suara jawaban santrinya itu. Alangkah terkejutnya beliau ketika melihat bahwa yang mengeluarkan suara tersebut adalah seekor bulus.
Mbah Dudo bersedih hati setelah mengetahui hal tersebut. Salah seekor bulus dengan nada yang sedih berkata ” barangkali kita berdosa karena bekerja di malam hari, apalagi di malam bulan suci Ramadhan”. “tapi siapakah yang melarang orang bekerja malam-malam?” sanggah bulus yang lainnya. “siapa tahu Dewi Sri tidak rela padinya di cabuti malam-malam?” ujar bulus lain. Maklum pada waktu itu pendalaman mereka soal agama Islam masih bercampur dengan kebudayaan nenek moyang sehingga mereka masih percaya dengan keberadaan Dewi Sri. dan Mbah Dudo dalam dakwahnyapun tidak menghilangkan secara keseluruhan kebudayaan-kebudayaan mereka, yakni dengan cara memadukan antara kebudayaan tersebut dengan kebudayaan Islam (akulturasi budaya).
Peristiwa ini membuat Mbah Kyai Dudo kebingungan karena dua santrinya Umaro, Umari serta masyarakat yang membantu mencabuti benih padi telah menjadi seekor bulus. Mbah Kyai Dudo kemudian meletakkan bulus-bulus itu dibawah pohon maja. Kejadian ini menjadi buah bibir penduduk setempat sehingga menimbulkan keresahan bagi warga masyarakat yang kehilangan sebagian anggota keluarganya. Lantas, diantara mereka ada yang mencari keterangan ke sana-sini sehingga tahulah bahwa kejadian itu akibat kata-kata Sunan Muria. Hal ini mengingatkan hati Mbah Kyai Dudo tentang kejadian malam itu disaat beliau berbincang-bincang dengan kanjeng Sunan Muria di pesanggrahan beliau. Kata-kata Sunan Muria yang tidak sengaja terucap tersebut mungkin saja menjadi sebuah karomah sebagai seorang wali. Sehingga apa yang beliau ucapkan itu dikabulkan oleh Allah. Sedangkan para petani tersebut juga salah, karena bekerja sampai lupa waktu walaupun dengan alasan puasa. Padahal malam pada bulan Ramadhan adalah malam untuk mendekatkan diri kepada Allah bukan untuk bekerja.
Kabar itupun terdengar oleh kaum kura-kura atau bulus yang bersusah payah mencari persembunyian. Beberapa hari kemudian, mereka yang telah menjadi kura-kura itu mendengar kabar-kabar dari orang-orang yang lewat di dekat persembunyiaannya bahwa kanjeng Sunan Muria akan segera kembali dari Pati. Kemudian dalam hati mereka timbullah niat untuk hendak memohon ampunan kepada Sunan Muria agar menjadi manusia normal seperti sedia kala.
Dengan sabar mereka menunggu lewatnya Sunan Muria sambil berendam diri di tempat persembunyiaannya. Setiap kali mendengar langkah-langkah kaki orang-orang yang lewat maka berebutlah mereka naik ke darat hendak mencari tahu siapakah yang lewat. Beberapa kali merekapun kecewa karena orang-orang yang lewat ternyata bukanlah rombongan Sunan Muria.
Suatu hari kemudian, pada saat Sunan Muria dan santri-santrinya melewati tempat itu, bergegaslah mereka naik ke darat hendak menghadap Sunan Muria. Setelah yakin bahwa orang-orang yang lewat itu adalah rombongan Sunan Muria, berkatalah diantara mereka, kanjeng sunan ampunilah dosa dan kesalahan kami, dan mohonkan kepada Allah agar kami menjadi manusia kembali. Permohonan maaf juga disampaikan oleh Mbah Kyai Dudo terhadap kanjeng Sunan Muria agar memaafkan santri-santrinya dan mengembalikan wujudnya seperti semula.
Sesungguhnya hati kanjeng Sunan Muria sangat terharu menyaksikan peristiwa itu, akan tetapi, beliaupun tersenyum sambil berkata dengan lembutnya, “wahai sanak kerabatku, aku sendiri ikut prihatin terhadap musibah ini. namun, harus kukatakan bahwa semua ini sudah menjadi takdir Allah. Oleh karena itu, terimalah semua cobaan ini dengan ikhlas dan bertaqwa kepada Allah”.
“kanjeng Sunan sekiranya memang demikian taqdir kami, lantas bagaimanakah kami memperoleh kehidupan?” sahut salah satu kura-kura.
Hati nurani kanjeng sunan muria semakin pilu mendengar permohonan itu. Setelah beliau bertafakur sejenak, dan berdoa bermunajat kepada Allah. Setelah itu beliau kemudia mengambil tongkat dan menghadapkan ujung tongkatnya ke atas lalu secepat kilat menancapkannya ke dalam tanah. Tongkat yang ditancapkannya kemudian dicabut dan sekejap saja tempat itu mengeluarkan sumber mata air yang besar dan jernih. Dalam waktu sekejap pula, tempat itu telah berubah menjadi sendang. Mbah Kyai Dudo, para santri dan masyarakat melihat kejadian ini sebagai suatu yang ajaib. Mereka heran bahkan matanya terpana dan terbelalak melihat kejadian ini. masyarakat sadar bahwa kejadian ini adalah karomah dari wali Allah yang segala permintaannya dikabulkan oleh Sang Pencipta.
Kanjeng Sunan Muria kemudian berkata pada bulus-bulus itu, “dengarlah wahai para bulus, tempat ini telah menjadi sumber air yang abadi, dan kelak akan menjadi sebuah dukuh yang ramai dengan nama sumber. Bersabarlah kalian di sini karena makanan apapun yang kalian inginkan akan datang dengan sendirinya”. Mbah Kyai Dudo kemudian menanamkan nama bulusan sehingga menjadi sebuah nama dukuh yang dikenal dengan nama sumber bulusan. Karena banyak dihuni oleh para bulus. Konon, tongkat kanjeng sunan muria berubah menjadi sebuah pohon yang bernama adem ayem, dan disekeliling sumber ditumbuhi pohon gayam. Pohon gayam melambangkan rasa ayem ‘tenteram, tenang’. Sama halnya dengan asem, kata gayam digunakan potongan kata atau suku kata terakhirnya yakni yam untuk menyimbolisasikan rasa ayem ‘tenteram, tenang’. Di samping itu, pohon gayam juga dipercaya sebagai pohon yang dapat menyimpan/mendekatkan air ke permukaan tanah sehingga air jernih mudah didapatkan di sekitar pohon tersebut. Ketersediaan air berarti juga ketenangan dan kesejahteraan bagi manusia. Untuk itulah pohon gayam digunakan sebagai simbol rasa keayeman. Di samping tentu saja, daunnya yang selalu lebat memberikan rasa teduh dan suasana tenang di sekitarnya. Pohon adem ayem tersebut termasuk memiliki keunikan, yakni pada musim penghujan, pohon ini malah daunnya berguguran. Lalu dari daun pohon tersebut juga dapat digunakan untuk menjadi obat penurun panas. Hal ini dapat dibuktikan dengan pengakuan para penduduk sekitar bahwa setiap anak atau anggota keluarga mereka sakit panas maka setelah minum air rebusan daun pohon adem ayem tersebut atas izin Allah panasnya turun.
Setelah berkata demikian, bergegaslah Sunan Muria dan rombongannya meninggalkan tempat itu. Lalu para bulus bertanya kepada Mbah Kyai Dudo perihal makanannya. Mbah Kyai Dudo kemudian menjawab, “bersabarlah kalian, karena anak cucumu warga dukuh sumber dan sekitarnya kelak disetiap mempunyai hajat akan mengirimu makanan yang berupa kupat, lepet, dan lain-lain. Selain itu, anak cucumu disetiap tanggal 8 Syawal akan berbondong-bondong datang menjenguk dan mengkholimu dengan membawa maknan sebagai symbol rasa syukur, permohonan maaf, dan merekatkan warga masyarakat agar ingat terhadap leluhurnya”. Hal tersebut memang terbukti dengan adanya orang-orang yang membawa makanan untuk dibawa ke Sumber dan diberikan kepada bulus, sehingga mereka dapat melihat bulus tersebut. Karena bulus-bulus tersebut jika tidak dikasih makanan mereka akan bersembunyi dibalik tanah. Hal ini masih sering dilakukan semasa Mbah Dudo masih hidup. Tetapi setelah Mbah Dudo wafat, hal tersebut sudah jarang dilakukan, sehingga para bulus itu pergi dari Sumber. Sampai sekarang ini tradisi memberi makan bulus hanya tinggal cerita dan hanya keramaian saja yang tersisa.
Pada saat sekarang ini, bulus-bulus itu sudah tidak diketahui lagi keberadaannya. Entah mati atau sudah pergi dari tempatnya semula tidak ada yang tahu secara pasti. Ada yang mengatakan bahwa bulus-bulus itu mempunyai sebuah lubang yang menghubungkan dari dukuh Sumber tersebut dengan sebuah pantai. Tapi lubang tersebut belum ada yang pernah menemukan atau menjumpai sehingga diragukan kebenarannya.

1 komentar:

  1. Best Emperor Casino | Shootercasino.com
    Best Emperor Casino. Experience the benefits of playing online casino games like blackjack, roulette, and 인카지노 baccarat, as well as being a 제왕 카지노 home 메리트카지노

    BalasHapus